Pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian tepat yang memiliki tujuan ganda yaitu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pertanian organik bergantung pada rotasi tanaman, penggunaan sisa tanaman, kotoran ternak, pupuk hayati, pestisida nabati dan insektisida alami. Pertanian organik mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini karena menghindari penggunaan pupuk kimia sintesis di lahan pertanian yang berdampak buruk bagi peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Melalui Sekolah Lapang Iklim Pertanian Organik kelompok tani Horas Jaya, Nagori Panombeian, Kabupaten Simalungun bersama BITRA Indonesia melakukan uji coba tanam padi dengan sistem organik di lahan seluas lebih kurang 1.200 meter2. Sekolah Lapang Iklim Pertanian Organik ini dilakukan untuk menjawab tantangan petani pada perubahan iklim.
Sekolah lapang iklim pertanian organik dilakukan selama 2,5 bulan. Petani melakukan pengamatan di demplot setiap minggunya untuk memantau dan menganalisis perkembangan tanaman mereka. Petani juga mendalami berbagai prinsip yang terkait dengan perkembangan tanaman, seperti dinamika populasi hama dan penyakit seperti serangga, fisiologi tanaman, pemeliharaan kesuburan tanah, pengaruh air dan cuaca, pemilihan varietas, dan lainnya melalui uji coba yang mereka lakukan sendiri. Selama proses sekolah lapang iklim, petani mendapat pembelajaran baru seperti bertanam satu bibit ternyata sama hasilnya dengan bertanam 4-5 bibit padi, petani juga mengakui bulir padi yang dihasilkan lebih berisi dan padat. Berbeda dari pengalaman sebelumnya di lahan masing-masing dimana bulir padi banyak yang kosong.
Riama Simanjuntak mengatakan, saat ini petani di Nagori Panombeian masih khawatir untuk menanam padi disebabkan sering gagal panen oleh kekurangan air dan serangan hama tikus. Maka petani sekarang beralih menanam jagung dilahan persawahannya.
“Memang saat ini bila petani akan tanam padi harus dilakukan secara serentak agar tidak terserang hama tikus secara besar-besaran. Namun petani masih bertani secara konvensional atau non organik dan ini masih menjadi persoalan oleh petani karena pengeluaran yang besar untuk pengadaan pupuk dan pestisida serta lahan pertanian lebih rentan terhadap serangan hama termasuk hama tikus. Kekeringan juga menjadikan petani selalu merugi karena pertanian dengan penggunaan bahan kimia sintesis tidak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Tanaman padi bisa lebih tahan dan tidak rusak walau kadang air tidak cukup atau di saat lain kelebihan air melalui sistem organik yang kami praktekkan ,” lanjut Riama Simanjuntak sebagai Ketua Kelompok tani Horas Jaya.
Sudarmanto sebagai staf pendamping BITRA Indonesia mengatakan, pada panen padi organik dilahan demplot sekolah lapang iklim pertanian orgaik dengan luas lebih kurang 1.200 meter2 ini, menghasilkan 611 Kg gabah. Ini menunjukkan bahwa menanam padi dengan sistem organik ini mampu beradaptasi dengan kondisi kekeringan berkepanjangan akibat perubahan iklim di Nagori Panombeian dan hasil panen juga lebih tinggi dari bertani dengan sistem non organik.
“Serangan hama juga hampir tidak terjadi, padahal lahan di sekeliling demplot ditanami dengan tanaman jagung yang sering menjadi sarang tikus. Sistem pertanian organik ini juga mengurangi pengeluaran petani untuk pengadaan pupuk dan pestisida, “ terang Sudarmanto.
Sekolah Lapang Iklim Pertanian Organik memberikan praktik pengelolaan yang dapat membantu petani beradaptasi terhadap perubahan iklim melalui penguatan agroekosistem, diversifikasi produksi tanaman dan ternak, serta membangun basis pengetahuan petani untuk mencegah dan menghadapi perubahan iklim dengan sebaik-baiknya.
Tinggalkan Komentar