Berdasarkan sejarah, perkembangan bidang medis modern Indonesia, mulai dikenal sejak pendirian Budi Utomo dan sekolah kedokteran di Jawa pada era 1900-an, sekolah ini mengadopsi dan melembagakan secara formal prinsip dan teknik pengobatan. Secara khusus mengembangkan pola penyembuhan penyakit dengan cara rasional dan berdasarkan logika penelitian serta penggunaan obat-obatan terstandar. Konsep pengobatan yang ditawarkan sungguh sangat berbeda dengan teknik dan pola pengobatan yang banyak digunakan pada saat itu.
Para praktisinya yang dikemudian hari bergelar dokter, diberikan pengetahuan pengobatan dan belajar dalam sebuah institusi resmi. Berbagai kalangan juga dapat mempelajari teknik pengobatan ini asal berminat dan bersedia meluangkan waktunya masuk ke dalam system pendidikan yang sudah dibangun secara sistematis dan terfokus. Dalam perjalanan waktu bahkan disepakati dan menjadi keharusan bahwa seorang dokter harus mematuhi sebuah kode etik medis, yang berlaku universal. Secara umum kode etik ini mengatur hubungan dokter dengan pasiennya, serta mengagungkan prinsip kemanusiaan dan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Prinsip ini tanpa memandang batasan-batasan structural.Untuk input yang diinjeksikan kedalam tubuh penderita penyakit, biasa disebut obat, bidang medis modern berhasil mengembangkan berbagai bentuk obat, yang pada awalnya juga berasal dari sari dan ekstrak tumbuhan tertentu. Tumbuhan tertentu ini juga diambil dari alam, dimana dengan kontribusi lembaga penelitian dan farmasi yang semakin berkembang pesat, dihasilkan zat-zat tertentu secara spesifik, yang sangat membantu dokter dalam menyembuhkan berbagai penyakit.
Sebagaimana diketahui bahwa kandungan zat-zat aktif dalam tanaman berkhasiat obat sangat beragam. Menurut pandangan ahli kimia farmasi, tidak semua zat-zat tersebut diperlukan dalam pengobatan penyakit. Oleh bidang medis modern, hal inilah yang kemudian berhasil dipisahkan dan diisolasi dengan cara dan teknik tertentu. Zat-zat yang dianggap tidak dibutuhkan dipisahkan, dan tidak dipakai. Sedang zat-zat yang berdasarkan penelitian ilmiah, terbukti mempunyai efek penyembuhan optimal, kemudian dicampurkan dengan beberapa zat lain yang dimaksudkan untuk memperbesar potensi penyembuhan atas suatu penyakit. Kombinasi beberapa zat penyembuh inilah yang kemudian digolongkan dan diakui sebagai obat.Demikian besar peran lembaga penelitian dan akademisi dalam mengembangkan kedigdayaan bidang medis. Para calon dokter digembleng dalam sebuah institusi resmi dengan dukungan pemerintah dan entrepreneur global. Diakui bahwa banyak kasus wabah penyakit dunia telah dapat teratasi dengan tindakan medis, sehingga dunia sangat berhutang dengan keberadaan bidang ini. Berbagai perhatian dan keberpihakan dialokasikan serta dikucurkan untuk perbaikan kualitas medis. Para praktisi medis menjadi dewa penyelamat yang dapat berbuat apa saja, sehingga ada kecenderungan menempatkan pasien sebagai pihak yang tertindas dan lemah.
Rekomendasi kalangan ini atas kondisi pasien yang sedang ditangani merupakan harga mati. Seringkali rekomendasi medis tidak berdasarkan analisa diagnosa mendalam dan focus. Analisa dan rekomendasi yang dangkal atas kondisi medik pasien jelas akan menghasilkan tindakan medis yang berakibat fatal. Pasien bukannya sembuh malah mengarah ke kondisi yang semakin parah. Demikian juga dengan pemberian jenis dan dosis obat yang cenderung tak terkendali. Untuk menyembuhkan biasanya pihak medis menjejalkan begitu saja bermacam obat maupun satu jenis obat berdosis tinggi kepada pasiennya. Padahal untuk menyembuhkan kasus penyakit seseorang pasien tidak diperlukan asupan jenis maupun dosis obat yang berlebihan. Sudah menjadi rahasia umum maraknya penggunaan antibiotika yang justru dalam beberapa kasus yang biasanya cukup ampuh menekan perkembangan penyakit, membuat kuman penyakit tersebut resisten. Ada kesalahan dalam diagnosa atau mungkin terjadi konspirasi dagang antara tenaga medis dengan pihak pabrikan farmasi?Beberapa kasus malpraktek menjadi berita harian di masyarakat kita, tetapi dengan posisi pasien yang buta akan masalah kesehatannya, ditunjang dengan digdayanya sebuah institusi medis sehingga masyarakat menjadi kelinci percobaan atas ketidak mampuan seorang tenaga medis. Sangat sedikit pasien yang sudah mengalami malpraktek dapat memperjuangkan hak kesembuhan mereka. Para tersangka pelanggar kode etik medis menutupi dengan rapat informasi dan tindakan medis yang telah mereka ambil. Tinggallah keputus-asaan dan nestapa yang menjadi kawan pasien yang terkena tindakan malpraktek.Pemerintah sebagai lembaga penengah, tidak banyak dapat diharapkan membela kepentingan akan kesehatan rakyatnya. Hal ini memang dilematis, sebab pemerintah juga memiliki andil yang dominan dalam menumbuh kembangkan bidang medis modern. Upaya-upaya pembangunan yang gencar dilakukan pemerintah selalu bersandar kepada pengembangan beberapa bidang, salah satu diantaranya adalah bidang kesehatan.
Pemerataan kesehatan bagi seluruh rakyat menjadi patokan kualitas pembangunan. Keberhasilan sebuah Negara dalam membangun masyarakatnya biasa dinilai dengan perbaikan derajat kesehatan. Untuk itu pemerintah tentunya memberi prioritas untuk bidang ini. Upaya menggenjot peningkatan biasanya selalu dalam ukuran pembangunan fisik pusat kesehatan masyarakat di pedesaan, kecamatan, rumah sakit berbagai tipe, ketersediaan tenaga medis, mantri kesehatan, serta obat-obatan dalam jumlah cukup. Hal ini tentunya cukup baik, tetapi prioritas yang dipilih lebih mengedepankan sisi kuantitas. Misalnya sudah terbangun sekian ribu puskesmas, sudah terbangun sekian ribu rumah sakit, sudah ada sekian ribu mantri kesehatan, perawat dan dokter. Sudah diproduksi berbagai jenis obat dan kelengkapan sarana lainnya. Penekanan pada skala kuantitas mengabaikan sisi kualitas. Inilah yang terjadi, dimana seorang mantri maupun tenaga kesehatan setingkat dokter terkesan tidak menjiwai peran dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Mereka sekedar mengisi lowongan pekerjaan setelah lulus dari institusi medis ternama. Bahkan untuk mendiagnosa gejala ringan dari suatu kasus penyakit kebanyakan dokter tidak dapat melakukannya. Hal ini terbukti dengan seringnya pasien yang setelah berkunjung ke ruang praktek seorang dokter pulang dengan tangan hampa.
Dokter yang memeriksa tidak mau menyebutkan apa penyakit yang diidapnya berdasarkan pemeriksaan/ diagnosa. Pemeriksaan pasien hanya sekitar 2 – 3 menit, apa yang bisa didiagnosa dengan alokasi waktu demikian singkat. Kecenderungan ini disebabkan pertimbangan ekonomi semata, dimana seorang tenaga medis biasanya ditunggui sekian pasien yang berjubel antri. Dengan diagnosa seadanya, dapat dipastikan pemberian obat terjadi sembarangan. Kasus komplikasi penyakit semakin sering terjadi, bukannya menyembuhkan malah menambah daftar penyakit yang harus didera pasien.Gambaran diatas berkaitan erat dengan aspek ekonomi. Tenaga medis menjadi perpanjangan tangan pabrikan untuk memasarkan produk-produk terbaru mereka. Sudah menjadi konsumsi umum, bahwa ada berbagai insentif yang demikian menggiurkan yang akan diterima seorang tenaga medis jika dapat memasarkan produk pabrikan tertentu. Banjir insentif jelas mendudukkan Pasien menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis di lingkup ini.Harga obat menjadi demikian tinggi, selain factor ketersediaan bahan baku yang masih mengimpor, kepentingan pendapatan pajak dan cukai oleh Negara, jelas menambah panjang daftar kalkulasi biaya produksi obat. Praktek seperti diatas dalam rantai distribusi juga menyumbang peran cukup besar dalam tingginya harga obat-obatan. Biaya distribusi dan promosi, seperti iklan di media cetak dan elektronik, pengadaan armada distribusi, pemberian berbagai insentif kepada tenaga medis merupakan factor pendukung tingginya harga obat. Sudah menjadi kewajiban ekonomi, apa yang telah dikeluarkan produsen untuk memuluskan aksi penjualan mereka, maka ujung-ujungnya adalah membebankan seluruh biaya tersebut kepada konsumen akhir – para pasien. Pasien yang kemudian menahankan – remuk redam, seluruh biaya ini dalam harga obat yang mereka beli.Disisi lain peran lembaga pendidikan medis juga menyumbang terkereknya biaya berobat. Dibutuhkan biaya yang cukup fantastis untuk meraih titel dokter. Hukum ekonomi kembali bermain disini. Apa yang sudah dikeluarkan oleh kalangan mahasiswa medis tentunya harus dikembalikan ketika mereka sudah berkecimpung di masyarakat. Untuk mereka yang berkunjung dan meminta konsultasi dipatok tariff konsultasi professional dalam nominal mencengangkan. Pelayanan dari institusi medis juga sama mencengangkan, dipenuhi dengan birokrasi administrasi, tanpa ada kompromi atas etik kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan.
Hampir tak ada rumah sakit yang mau mendahulukan melakukan perawatan kepada pasien yang datang, tanpa bertanya pembiayaan. Komersialisasi menjadi ikon panutan dalam bidang ini sehingga menginjak prinsip mulia yang jauh-jauh hari diusung dan diformulasikan dalam Kode etik medis, untuk berbuat tanpa pamrih, tanpa memandang siapapun yang membutuhkan pertolongan.Dari berbagai gambaran ketidak berpihakan bidang medis, tentunya tidak seluruhnya bertindak seperti binatang ekonomi, dari kerumunan ini juga muncul satu dua praktisi medis yang mengedepankan sisi nuraninya kepada masyarakat lemah.Di sisi lain, dalam bidang pengobatan di Nusantara juga sudah berkembang, disiplin ilmu dan pengobatan yang berbasis tradisi. Jauh sebelum berkembangnya dunia medis modern, masyarakat bersandar secara penuh akan teknik dan pola pengobatan tradisi ini. Cukup banyak aliran yang berkembang, tetapi pada umumnya dapat ditarik beberapa pola dimana, teknik pengobatan hampir tidak memiliki pembuktian maupun penjelasan rasional atas apa yang dapat digunakan mengobati suatu penyakit. Para praktisi di dalamnya lebih menyandarkan analisa dan cara pengobatan mereka kepada intuisi. Seringkali mereka bertindak sembarangan dan tidak dapat mempertanggung-jawabkan akibat dari tindakan pengobatan mereka. Yang perlu ditekankan bahwa kebanyakan praktisi bidang kesehatan non medis ini pada umumnya menggunakan berbagai rempah dan tanaman, yang diyakini memiliki khasiat obat.
Masyarakat sebagai pasien memperoleh pelayanan yang kurang memadai. Hal ini terjadi sebab tidak melembaganya serta tidak ada aturan baku yang dapat digunakan untuk mengatur keberadaan praktisi pengobatan bidang ini. Obat-obatan yang digunakan berbasis aneka tumbuhan liar yang kemudian diramu berdasarkan pengalaman. Hampir tidak ditemui dokumentasi dan dasar mengapa menggunakan tanaman tersebut sebagai sarana penyembuhan. Hal ini terjadi disebabkan tidak adanya lembaga pendidikan maupun riset yang bersedia mengembangkan bidang ini dan menjadikannya sebagai pemberi jaminan atas praktek pengobatan.Tumbuhan dan rempah yang digunakan tentunya belum memiliki standar khusus. Sangat sulit menentukan kadar dan takaran pasti tumbuhan yang diberikan sebagai obat kepada pasien. Biasanya pemberian dosis tumbuhan sebagai obat, berdasarkan ukuran yang sangat diragukan kuantitasnya, seperti satu jumput, satu jari tangan dll. Hal ini tentunya sangat bersifat tradisional, tetapi inilah yang menjadi ciri khas bidang ini. Tidak ada standar pasti penggunaan tanaman berkhasiat obat dan rempah dalam aktifitas pengobatan para praktisi di dalamnya. Hal ini tidak terjadi pada masalah ukuran semata tetapi juga pemberian suatu jenis tanaman/rempah tertentu sebagai obat juga biasanya tidak dilandasi hasil penelitian khusus. Untuk penyakit Diare, biasanya diberikan tanaman C, sedang untuk penyakit Diabetes digunakan rempah tertentu.
Tidak akan dapat ditemui argumentasi seragam mengapa untuk diare diberikan tanaman tertentu. Apa sebenarnya zat dalam tumbuhan tertentu yang dapat mengatasi diare. Semua ditentukan berdasarkan kebiasaan dan temuan pengalaman praktisi terdahulu.Dalam berbagai komunitas budaya di berbagai belahan dunia, juga sudah berkembang teknik pengobatan yang berbasis kearifan. Kearifan dalam arti mengupayakan perbaikan system pertahanan tubuh dalam mengatasi penyakit yang mengganggu. Teknik pijat tertentu banyak digunakan untuk mengatasi penyakit. Sebagai mana diyakini bahwa jauh sebelum ditemukan teknik pengobatan modern dan berbagai jenis obat, masyarakat banyak bergantung atas bidang kesehatan non medis ini. Teknik pengobatan dengan menstimulasi elemen tubuh sendiri untuk aktif mengatasi penyakit.
Berdasarkan pengalaman yang mendalam, serta praktek perobatan di masyarakat serta ditunjang dengan pencatatan secara sistematis, maka teknik pijat yang biasa disebut sebagai Akupresur berkembang di Nusantara. Hal yang mendasar dari teknik pengobatan ini adalah masyarakat yang menjadi pelaku dokter. Mereka dimotivasi untuk dapat mengatasi penyakit yang mereka derita secara mandiri. Sistematika yang dibangun memudahkan kalangan rakyat dapat mendeteksi bahkan mengatasi penyakit mereka sendiri. Cara ini tentunya tidak memerlukan sekolah khusus dalam waktu tahunan. Hanya diperlukan sesi pelatihan dalam waktu singkat, serta pendampingan yang kontinyu, sehingga benar-benar masyarakat dapat mengurangi ketergantungan mereka akan upaya-upaya berobat yang menyita berbagai sumber daya.Karena masih mengedepankan pendekatan dan kearifan budaya, dunia pengobatan non medis ini, para praktisi didalamnya masih sangat menghormati manusia dan lingkungannya. Pendekatan social kemasyarakatan menjadi kekuatan untuk membesarkan khasanah kesehatan non medis di masyarakat. Manusia yang menderita sakit diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai mesin ekonomi, sehingga walaupun tetap ada pamrih yang diterima praktisi dan diberikan masyarakat, tetapi tidak mengedepankan prinsip komersialisasi. Upaya memperkuat dan memupuk prinsip hidup yang mulia ini digalang dengan menjadikan praktisi senior sebagai panutan, mengupayakan transfer sikap hidup ini kepada masyarakat lain melalui kegiatan produktif dalam wadah organisasi sosial.Upaya mengangkat khasanah pengobatan non medis menjadi sangat dibutuhkan mengingat situasi dan kondisi masyarakat yang saat ini walaupun tidak dikatakan berada dalam masa resesi atau keterpurukan ekonomi, tetapi di level bawah sangat merasakan tekanan beban hidup. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan dasar saja sebagian besar masyarakat sangat direpotkan. Dengan semakin membaiknya indicator ekonomi bangsa secara makro (kata para pejabat pemerintahan) kondisi riel di lapangan khususnya di kabupaten Langkat semakin sulit memperoleh penghidupan layak. Apalagi jika ditambah dengan pemenuhan derajat kesehatan. Memperoleh pelayanan bidang ini merupakan hal yang eksklusif bagi sebagian besar warga kita. Hampir tidak dapat ditemui kalangan praktisi medis yang menyediakan waktunya setiap saat membantu pasien yang membutuhkan pertolongan. Mereka akan bertindak seperti jam kantor menghadapi pasien yang gawat sekalipun.
Ada pengalaman pahit saya pribadi dalam berurusan dengan tenaga medis, dimana secara tiba-tiba anak saya mengalami panas tinggi di malam hari. Orang tua mana yang tidak panik dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya harapan adalah mengupayakan bantuan tenaga medis. Setelah dikunjungi ke rumahnya yang juga merupakan tempat praktek; dan menggedor pintu selama sekian menit, tidak ada respon dari tenaga medis tersebut, untuk sedikit meluangkan waktu istirahatnya. Keadaan ini sungguh sangat menyedihkan, sekaligus mengingatkan kita akan ketergantungan parah bangsa ini atas sebagian warganya yang kebetulan menguasai teknik pengobatan. Padahal seingat saya, kaum medis dituntut untuk selalu membantu berbagai kalangan tanpa memandang batasan formal sebagai kode etik profesionalnya.Diperlukan terobosan dan inovasi dengan menggalang sumber kekuatan kita sendiri agar kebutuhan memperoleh kesehatan menyeluruh tidak merupakan hal yang mustahil. Masyarakat yang kuat dan sehat merupakan tonggak berdirinya bangsa ini. Apa jadinya jika sebagian warga mengalami sakit sedang institusi yang berkompeten tersedia dimana-mana tetapi justru bukan menjadi penyelamat malah dijauhi walaupun sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh kalangan rakyat yang tidak mampu. Ketidak mampuan mengakses kesehatan seharusnya membuat para pemikir kebijakan untuk mengupayakan tindakan konkrit.
Diperlukan keberanian dan tekad keras untuk sedikit mengubah paradigma bahwa untuk menjadi sehat mutlak membutuhkan peran dunia medis. Ada sisi lain dari tindakan pengobatan tradisional yang juga pelu dikembangkan bersama. Berikan peran dan bimbingan agar dunia lain yang berupa kesehatan alternative ini dapat berkembang sejajar. Jangan malah menempatkan suatu bidang lebih tinggi dan memandang bidang lain dengan kaca mata kuda. Upaya-upaya dialog multi sisi – saling membuka diri, mungkin dapat dijadikan wadah membangun interaksi dan mengurangi kadar keberpihakan sehingga dukungan berbagai pihak akan upaya pelestarian kekuatan penyembuhan berbasis local dapat dilakukan bersama.
Kesehatan alternatif dan budidaya tanaman berkhasiat obat merupakan gerakan yang dilakukan BITRA Indonesia di Kabupaten Langkat, Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai & Labuhan Batu Utara dengan puluhan kelompok praktisi kesehatan alternatif untuk memberikan jawaban terhadap persoalan praktik kapitalime medicine yang tanpa kita sadarai telah menjadi kebutuhan yang selalu dianggap ‘wajar’, meskipun demikian mahalnya, bahkan menjadi ‘ketergantungan’.