Info Penting
Sabtu, 25 Jan 2025
  • Di tengah dunia yang penuh tantangan, mari kita bersama-sama menanam benih kedamaian, saling menghormati, dan memperkuat rasa kemanusiaan. Perdamaian dimulai dari langkah kecil, dari diri kita sendiri. Selamat Hari Perdamaian Dunia 2024
  • Di tengah dunia yang penuh tantangan, mari kita bersama-sama menanam benih kedamaian, saling menghormati, dan memperkuat rasa kemanusiaan. Perdamaian dimulai dari langkah kecil, dari diri kita sendiri. Selamat Hari Perdamaian Dunia 2024

Advokasi Kebijakan

 

Partisipasi Pembentukan Peraturan Desa Merupakan Keniscayaan dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi

Pengakuan Desa pada jalannya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indoensia diatur dalam konstitusi negara Indonesia, tercantum dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyebutkan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Berdasarkan pasal ini, desa merupakan suatu wilayah hukum yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengurus kepentingan masyarakat setempat dan sangat menentukan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan, artinya kesatuan masyarakat hukum tersebut memiliki otonomi. Namun demikian, otonomi yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa bukanlah otonomi seperti yang dimiliki pemerintahan Provinsi, Kota, maupun Kabupaten, akan tetapi merupakan otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat istiadat, sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, “Pemerintahan Desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengaturan pasal tersebut, Pemerintah Desa memiliki dua tugas utama, yakni sebagai penyelenggara urusan pemerintahan, dan sebagai penyelenggara kepentingan dan kehendak masyarakat yang ada di wilayahnya.

Pemerintah Desa yang menyelenggarkan urusan pemerintahan dan kepentingan serta kehendak masyarakat desa dalam prakteknya harus berdasarkan peraturan desa yang berprinsip pada partisipasi masyarakat, sebagai wujud dari adanya pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, sekaligus penerapan prinsip transparansi dalam proses pembentukan peraturan desa. Hal ini sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif. Salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan desa yang diatur dalam Pasal 24 tersebut adalah asas Partisipatif, yakni adanya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa diantaranya adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan Peraturan Desa.

Adanya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan desa merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem pemerintahan demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 28 UUD Tahun 1945 yang menegaskan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Konsultasi dan pemberian masukan dari masyarakat desa dalam proses pembentukan peraturan di tingkat desa merupakan hal yang mutlak wajib dilaksanakan sebagai upaya untuk menampung aspirasi dari masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 ayat (9) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menegaskan bahwa, “Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa”. Partisipasi masyarakat desa dalam musyawarah desa maupun dalam penyusunan peraturan desa merupakan wujud kewajiban dan darma bakti masyarakat kepada desanya, sekaligus wujud kewajiban dan darma bakti warga dalam berbangsa dan bernegara melalui tindakan-tindakan sukarela,yang merupakan bagian dari penguatan daya tahan nasional khususnya dalam rangka melindungi kekayaan sumberdaya bangsa maupun penguatan ideologi Pancasila dalam praktek hidup berbangsa dan bernegara.

 

 

 

 

Perdes Partisipatif, Sarana Komunikasi Timbal Balik Antara Kepala Desa dan Masyarakat

Hal paling penting dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan adalah partisipasi masyarakat, karena peraturan perundang-undangan yang berdasarkan pada partisipasi masyarakat diharapkan dapat memiliki daya laku yang lama dan daya guna yang efektif sehingga dapat memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dalam sistem demokrasi, hal yang paling penting adalah bagaimana menjamin ruang partisipasi terbuka seluas-luasnya bagi setiap lapisan masyarakat. Tetapi jaminan tersebut juga disertai dengan berbagai upaya berkesinambungan untuk mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Partisipasi masyarakat desa menyalurkan aspirasinya dalam perumusan peraturan desa, mensyaratkan adanya relasi politik yang demokratis dalam tata kelola desa yang didukungoleh kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat desa dalam suatu musyawarah desa. Pengambilan keputusan dalam peyelenggaraan pemerintahan desa dilaksanakan dengan dua macam keputusan. Pertama, keputusan yang beraspek sosial, yang mengikat masyarakat secara sukarela tanpa sanksi yang jelas. Kedua, keputusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga formal desa yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengambilan keputusan peraturan perundang-undangan. Proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang secara legalitas diberikan fungsi untuk itu yang kemudian produknya disebut dengan peraturan desa

Peraturan Desa pada prinsipnya merupakan suatu bentuk keputusan yang bertujuan mengatur tingkah laku masyarakat desa secara utuh , melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat dan menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di desa yang bersangkutan atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan dan kesejahteraan umum. Pada dasarnya Peraturan Desa adalah sarana demokrasi dan sarana komunikasi timbal balik antara Kepala Desa dan masyarakatnya.

Secara umum penyusunan Peraturan desa sebagai suatu produk hukum yang berlaku di tingkat desa harus memiliki landasan pada umumnya pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis sebagai latar belakang pembuatannya. Unsur filosofis, artinya bahwa setiap peraturan yang dibuat harus berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi hukum. Unsur sosiologis berarti bahwa setiap peraturan yang dibuat harus berasal dari harapan, aspirasi, dan sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat. Sedangkan unsur yuridis, dimaksudkan bahwa peraturan yang dibuat menjunjung tinggi supremasi dan kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Peraturan desa selain membantu pemerintah desa dengan pertimbangan awal dalam perancangan peraturan, juga berfungsi mensosialisasikan peraturan desa tersebut terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum peraturan desa itu diberlakukan. Pemerintah Desa sebagai “unit” pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, maka dalam penyelenggaraannya sangat diwajibkan untuk melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena penyelenggaraan pemerintah di tingkat desa tentu berbeda dengan penyelenggaraan pemerintah yang ada di tingkat atasnya.

 

 

 

Terwujudnya Demokratisasi Pada Masyarkat Desa Melalui Pembentukan Peraturan Desa

Partisipasi berarti keikutsertaan masyarakat desa dalam setiap kegiatan dan pengambilan keputusan strategis Desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan sifat partisipatif sebagai asas pengaturan termasuk dalam pembentukan peraturan desa, yang artinya berkehendak untuk menopang proses demokratisasi di desa. Landasan ontologis pemerintah desa membenarkan bahwa dalam pengaturan pemerintahan desa harus memperhatikan keanekaragaman, demokratisasi, partisipatoris, otonomi asli, dan pemberdayaan kepada masyarakat desa.

Pentingnya demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dilatar belakangi oleh dua alasan utama, yakni Pertama, dalam suatu pemerintahan Desa, demokrasi merupakan upaya pendefinisian ulang hubungan antara masyarakat Desa dengan elit atau penyelenggara Pemerintahan Desa.  Kedua, berhubungan dengan kemajuan yang ditandai oleh adanya pengaturan dalam Undang-undang Desa tentang kedudukan Desa. Bagian terpenting dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di desa adalah adanya pengakuan Negara terhadap hak asal-usul Desa (asas rekognisi) dan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa (asas subsidiaritas). Berdasarkan dua asas tersebut, Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengurus dirinya sendiri.

Hal yang harus tetap dipertahankan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dalam proses pembentukan peraturan desa adalah terwujudnya demokratisasi pada masyarakat desa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Hatta, bahwa demokrasi yang dikembangkan bukan menjiplak demokrasi barat secara menyeluruh, akan tetapi demokrasi yang berakar dari karakter masyarakat asli Indonesia, yakni demokrasi kekeluargaan yang berdasarkan pada permusyawaratan.

Pelaksanaan partisipasi dalam pelaksanaan musyawarah desa ini dijamin sampai dalam tingkat yang sangat teknis. Hal ini sesuai dengan pengaturan yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e Permendesa Nomor 2 Tahun 2015, menentukan bahwa “ setiap unsur masyarakat berhak menerima pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan selama berlangsungnya musyawarah desa”.

Konsep partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan desa secara umum ditegaskan dalam dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diatur dalam Bab XI, Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan, yang secara umum menegaskan tentang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat desa dalam proses pembentukan Peraturan desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan desa.

Sebuah Rancangan Peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa, terlepas dari lembaga mana yang mengajukan usulan Rancangan  peraturan desa tersebut. Jika tidak dikonsultasikan sebelumnya maka pengesahan suatu Rancangan Peraturan desa akan masuk pada suatu peraturan yang secara tidak sesuai dengan  mekanisme yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tulisan secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.