Masalah klasik yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya yang berprofesi sebagai petani adalah sulitnya akses modal untuk kegiatan produksi pertanian masyarakat kepada lembaga-lembaga keuangan formal, seperti perbankan. Berbagai hal dan terobosan-terobosan dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Berbagai skema pinjaman lunak skala kecil dipaksakan pada perbankan untuk menjawab tantangan yang menjadi kebutuhan petani kecil ini.
Dalam internal petani punya masalah tersendiri terhadap akses modal ke perbankan tersebut. Dari legalitas usaha tani yang dijalankan, surat-menyurat resmi yang tak dimiliki, jaminan yang diberlakukan perbankan sama dengan usaha umum yang membuat petani yang masih menggunakan pola tradisional, tidak dapat memenuhi berbagai hal yang disyaratkan.
Begitu juga yang dialami petani pekebun tanaman campuran (polikultur) di daerah dataran tinggi kawasan Sibolangit, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Modal sangat menjadi hambatan bagi petani untuk mengembangkan kebun polikultur yang sangat mendukung kelestarian alam yang dikelola.
Masyarakat di sini melakukan pola bertani secara tradisional yang sangat bersahabat dengan alam, arif dan mendukung ekosistem, sebab dengan tanaman berbagai jenis dalam satu hamparan maka sistem ini akan memelihara berbagai macam hewan tetap hidup karena ketersediaan rantai makanan untuk flora dan fauna yang hidup di alam.
Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, bersama masyarakat tani di 3 kecamatan, yakni Sibolangit, Pancurbatu dan Namorambe dengan jumlah (saat ini) ada 21 kelompok tani polikultur terdiri dari 458 KK dengan luas lahan lebih kurang 550 hektar, mengembangkan kebun rakyat pola polikultur dengan prioritas tanaman kakao, pada tahun 1997 lampau.
Konsep polikultur ini, dimana masyarakat tetap menjaga kebiasaannya dengan berkebun secara tradisional akan tetapi melakukan intensifikasi agar lahan yang ada bisa produktif dan berdaya ekonomis tinggi terhadap hasil lahan.
Polikultur adalah sebuah sistem pertanian atau model pertanian yang ekonomis, ekologis, berbudaya, mampu diadaptasi dan manusiawi. Model pertanian ini disebut juga dengan model pertanian yang berkelanjutan. Model pertanian polikultur merupakan koreksi total terhadap model pertanian monokultur yang sangat merugikan bagi ekosistem alam.
Karena hamparan lahan kebun dilintasi oleh 2 aliran sungai, yakni sungai Petani dan sungai Betimus, maka masyarakat juga berhimpun dalam organisasi yang bertujuan untuk pelestarian sungai yang diberi nama Forum Masyarakat Perduli Sungai (FMPS) yang membangun sistem konservasi sungai dan pemanenan ikannya secara kolektif dengan jangka waktu yang sudah ditentukan. FMPS juga membuat aturan dan larangan-larangan pengambilan ikan secara massal dan merusak, seperti menggunakan bom ikan, setrum dan racun (tuba) tetapi memancing, menjala dan menjaring tetap dibenarkan, apabila ada penduduk desanya atau desa lain yang tetap melanggar larangan maka sanksi-sanksi moral dan sosial dikenakan. Masyarakat mengistilahkan konservasi sungai dan biotanya ini dengan istilah Lubuk Larangan. Masyarakat juga melakukan kerja bersih sungai (dari sampah non organic) setiap 1 tahun sekali.
Berbagai sampah organik dan kulit (umbi) buah kakao dimanfaatkan menjadi pupuk organik dengan proses pembusukan dengan bahan alami yang dibuat sendiri. Berbagai teknis budidaya kebun polikultur secara organik ini didapatkan petani dari sekolah lapang polikultur (SL-Polikultur) yang dilakukan secara rutin dan terus-menerus pada setiap kelompok tani polikultur secara bergantian. SL-Polikultur yang dilakukan juga telah menghasilkan sebuah modul awal SL-Polikultur yang disusun dari hasil pengalaman lapangan petani sendiri. Modul ini juga terbuka untuk dikembangkan pada masa yang akan datang berdasarkan kebutuhan baru, situasi, kondisi dan perubahan iklim alam. Modul yang menjadi prakarsa untuk kebun tanaman campuran polikultur ini juga sangat diharapkan bisa diadopsi oleh petani pekebun lain di seluruh Indonesia dengan tipikal kebun tradisional tanaman campuran yang serupa dengan daerah dataran tinggi yang ada di Sumatera Utara.
Di sisi lain petani tidak lagi menjadi buruh harian di tempat lain atau sopir karena bisa mengurusi dan mengerjakan kebunnya yang menuntut kotinuitas aktifitas harian yang cukup tinggi. Dalam konsep polikultur petani disarankan menanam lebih dari 4 jenis tanaman keras dalam satu hamparan kebun. Disamping itu petani lain di sekitar juga harus ada yang menanam sumber pangan lokal seperti padi untuk memenuhi kebutuhan pokok agar tidak tergantung dengan ketersediaan pangan dari pasar.
Johan Pinem, petani polikultur dari desa Namo Pinang, Kec Namorambe mengatakan, “dengan bertani polikultur ini masyarakat disini merasa lebih aman dan giat untuk bekerja mengurus kebunnya. Aman secara ekonomi, karena kami hampir setiap hari kini dapat memanen hasil kebun. Yaitu, aren disadap niranya setian hari, pisang barangan dan kakao setiap minggu ada buahnya yang menguning, pinang & asam gelugur setiap bulan ada yang bisa diturunkan dari pohon, padi mulai menguning emas setiap 6 bulan, durian, manggis dan duku panen raya setiap tahun”.
“Begitu juga ketika harga salah satu produksi pertanian murah karena fluktuasi harga pasar, bagi kami ini tidak masalah, karena harga komoditi yang lain pasti tinggi”. Tambah Johan disela-sela pengerjaan pembuatan pupuk organik dari tanah media Johan beternak cacing dan kotorannya di dekat kandang lembu, belakang rumahnya.
Masalah Paska Produksi
Empat tahun setelah masyarakat menanam kakaonya, kini buah yang sangat digemari pasar Eropa tersebut mulai menghasilkan produksi yang berlimpah, namun petani pekebun polikultur menghadapi masalah baru, yakni:
1. Penetapan harga yang dilakukan oleh agen, pedagang atau tengkulak yang dengan sesuka hatinya dan selalu tidak sesuai dengan harga standar penjualan kakao.
2. Bertingkatnya rantai pemasaran hingga sampai pada ekspor, yakni dari mulai pedagang pengumpul, pengumpul desa, pengumpul kecamatan, (ada juga pengumpul Kabupaten), lalu pengumpul propinsi, dan eksportir.
3. Tidak adanya kebersamaan, persatuan dan kolektifitas petani dalam pengelolaan pasar (paska panen) atau off farm.
4. Banyaknya petani yang tergantung pada tengkulak, yakni pinjam uang pada pedagang pengumpul dengan keharusan menjual hasil produksinya pada tengkulak yang meminjamkan uang pada petani.
Sehingga meskipun program kelompok tani polikultur untuk intensifikasi kebun tradisional dengan tanaman kakao tersebut berhasil, namun belum secara maksimal berkontribusi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani.
Pada tahun 2005, awalnya dimotori oleh 6 kelompok tani polikultur dataran tinggi, melakukan diskusi intensif untuk mengatasi masalah ini. Dari beberapa kali serial diskusi yang makin hari makin banyak kelompok tani polikultur yang bergabung dalam diskusi ini, dilahirkanlah resolusi kampung dengan poin penting:
1. Petani kakao dengan pola tanaman campuran (polikultur) harus menentukan harga produksinya sendiri.
2. Rantai pemasaran yang sangat panjang harus dipangkas dengan cara petani bisa langsung menjual pada eksportir sebagai tahap belajar petani yang dalam jangka panjang bercita-cita mengekspor produknya langsung dengan skema perdagangan yang adil (fair trade) & sertifikasi organik. Opsi lain dari poin ini juga petani bercita-cita membuat pabrik kecil untuk kakao setengah olahan (cacao powder & cacao cream) untuk meningkatkan nilai tambah.
3. Petani harus bersatu dalam satu wadah pemasaran bersama melalui koperasi untuk menangani produk paska panen-nya.
4. Secara perlahan petani harus menekan ketergantungan terhadap tengkulak hingga 0 %, di masa yang akan datang.