Info Penting
Jumat, 26 Jul 2024
  • Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sistem pangan dan energi, produktivitas ekonomi dan integritas lingkungan semuanya bergantung pada siklus air yang berfungsi dengan baik dan dikelola secara adil. Kita harus bertindak berdasarkan kesadaran bahwa air bukan hanya merupakan sumber daya yang dapat digunakan dan diperebutkan – namun merupakan hak asasi manusia, yang melekat pada setiap aspek kehidupan. ---Hari Air Sedunia tahun 2024 adalah 'Air untuk Perdamaian'.---
  • Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sistem pangan dan energi, produktivitas ekonomi dan integritas lingkungan semuanya bergantung pada siklus air yang berfungsi dengan baik dan dikelola secara adil. Kita harus bertindak berdasarkan kesadaran bahwa air bukan hanya merupakan sumber daya yang dapat digunakan dan diperebutkan – namun merupakan hak asasi manusia, yang melekat pada setiap aspek kehidupan. ---Hari Air Sedunia tahun 2024 adalah 'Air untuk Perdamaian'.---
5 Desember 2023

KPA Mendesak Pemerintah Setop Pembahasan RanPerpres Percepatan RA Inkonstitusional

Sel, 5 Desember 2023 Dibaca 84x Uncategorized

JakartaMI – Saat ini, Pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). Rancangan Perpres dimaksudkan untuk menggantikan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA) dan Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88), pada 31 Oktober 2022 lalu.

Beredar informasi Diskusi Publik membahas RanPerpres RA yang dilaksanakan oleh Kemenko Perekonomian tanggal 1-2 November 2022.

Informasi kegiatan tersebut menyebar berselang beredarnya naskah elektronik RanPerpres RA. Dari penelusuran Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), draft tersebut baru saja diupload Kemenko di laman resminya pada 26 Oktober 2022. Ironisnya, tidak ada pengundangan yang disampaikan oleh pihak Kemenko kepada KPA meski nama KPA dicantumkan dalam daftar kepesertaan.

Menurut, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, hal ini sudah kesekian kali Kantor Staf Presiden dan Kemenko Perekonomian mengabaikan tuntutan proses perumusan kebijakan RA yang memadai (adequate), transparan, dan berhati-hati/seksama (prudent) sesuai dasar-dasar awal urgensi perubahan.

“Sebagai organisasi Gerakan Reforma Agraria di Indonesia yang konsisten mendorong lahirnya kebijakan RA, pelurusan tafsir dan praktik RA sekaligus percepatan pelaksanaannya di lapangan, maka KPA kembali mengingatkan Presiden beserta jajaran kabinetnya untuk kembali pada Konsistusi dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA),” tegas Dewi dalam keterangannya, Jum’at (4/11).

Atas hal ini, pihaknya menyampaikan 8 pandangan dan sikap KPA terhadap proses dan substansi RanPerpres RA per 26 Oktober 2022 itu.

Pertama, kata Dewi, pembahasan RanPerpres tidak transparan (tertutup) dan memadai (adequate) dari sisi proses perumusan, dan tidak ada pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara dan substantif.

“Secara keseluruhan, tidak ada pelibatan organisasi masyarakat sipil yang bermakna secara substantif. Proses perumusan dan pembahasan juga mengabaikan sejarah mengapa tuntutan dan urgensi revisi Perpres RA dilayangkan KPA bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) kepada Presiden RI,” jelas Dewi.

Dewi menerankan, bahwa proses revisi Perpres RA mangkrak dan tertutup sepanjang 2019-2022; tanpa ada kejelasan status setiap dimintai penjelasan dan klarifikasinya, tanpa proses perumusan bersama sebagaimana disepakati, tanpa konsultasi publik yang matang dan memadai.

“Tiba-tiba pemerintah lewat Kemenko menginisiasi kegiatan diskusi untuk membahas RanPerpres RA,”ungkapnya.

Bentuk kegiatan diskusi yang dirancang pun, lanjut Dewi, bersifat formalitas sosialisasi public (entertainment) semata. Diskusi ini bukan proses partisipasi yang bermakna.Namun diskusi publik hanya faormalitas. Sebab, kata Dewi, pemerintah tergesa-gesa ingin mengesahkannya di akhir tahun 2022 atau awal 2023 di tengah proses yang penuh kontroversial ini.

Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN dan KLHK haruslah kembali mengingat kesejarahan tuntutan revisi Perpres RA. Pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2019, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dengan Presiden RI bersepakat merevisi Perpres 86/2018 tentang RA.

“Sebab Perpres RA masih mengandung banyak kelemahan sehingga menghasilkan kemacetan realisasi 9 juta hektar land reform di Indonesia sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita ke-5 dan RPJMN,” bebernya.

Lebih lanjut, Dewi menjelaskan, bahwa pada pertemuan CSO dengan Presiden akhir tahun 2020 di Istana Negara, kembali diingatkan Sekretaris Jenderal KPA kepada Presiden perihal kemacetan dan ketidakjelasan proses revisi Perpres RA yang dijanjikannya pada 2019.

Presiden pun kembali mengingatkan jajaran kabinetnya yang hadir. Mandat revisi dilimpahkan prosesnya pada kepemimpinan Kepala KSP melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria.

Dikatakannya, presentasi Kemenko dalam diskusi publik, mengklaim Rakor Tim Percepatan sebagai bagian dari proses perumusan dan pembahasan bersama.

Sebagai bagian dari Tim Percepatan, sekaligus sebagai pihak yang pertama kali meminta dilakukan perbaikan Perpres 86, KPA bersama organisasi-organisasi rakyatnya dan para pakar bukum agraria yang kredibel tidak pernah dilibatkan secara aktif dan substantif dalam proses perumusan, baik oleh Kemenko atau pun KSP.

“Rakor Tim tidak melibatkan seluruh tim secara setara dan bermakna. Inilah pembajakan proses dan orientasi substansi yang menyeleweng yang dilakukan oleh Kemenko dan KSP,” katanya menegskan.

Selanjutnya , pandangan dan sikap yang kedua adalah RanPerpres RA melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi dan mengkhianati UUPA 1960.

Dewi mengatakan, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja (UUCK) telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sehingga pemerintah tidak diperbolehkan membuat produk regulasi baru turunan UUCK, apalagi yang menyangkut program prioritas nasional.

“Dengan menjadikan UUCK sebagai dasar pertimbangan (konsideran) utama, maka Tim Perumus tidak saja melanggar Putusan MK, tetapi juga kembali memanipulasi dasar-dasar urgensi perbaikan Perpres RA yang dituntut Gerakan Reforma Agraria,” jelasnya.

Sejak awal, kata Dewi, orientasi perbaikan perpres adalah pelurusan kebijakan dan praktik RA yang harus dikembalikan pada tujuan utamanya sesuai mandat yang diemban oleh Perpres RA sendiri.

“Memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah, menyelesaikan konflik agraria di seluruh sektor (perkebunanan BUMN-PTPN/swasta, kehutanan BUMN-Perhutani/swasta, dsb), memulihkan hak masyarakat yang terampas, serta memastikan RA berdampak pada kesejahteraan masyarakat agraris dan rakyat miskin tak bertanah,” ungkapnya.

Alih-alih mengembalikan orientasi hukum agraria yang sejalan dengan Konstitusi dan UUPA 1960 dalam menjalankan RA, justru UUCK masuk menjadi pertimbangan RanPerpres. Kemenko dan KSP lupa, bahwa hukum agraria nasional kita adalah UUPA, bukan UUCK yang melanggar Konstitusi.

Oleh sebab RanPerpres RA mengikuti logika hukum UUCK, maka pelaksanaan RA dimanipulasi dalam tata cara pengadaan tanah a la Bank Tanah, skema hak pengelolaan (HPL) dan hak berjangka waktu menjadi tawaran penyelesaian, percetakan sawah baru (food estate) menjadi bagian TORA.

“Aturan kawasan hutan pun akan mengikuti aturan UU Cipta Kerja, terkait kerterlanjuran dan klaim sepihak kawasan hutan oleh KLHK dan BUMN Kehutanan (Perhutani/Inhutani) sebagai akibat UU Kehutanan, UU CK dan peraturan turunannya. Ketimbang mengurai ketimpangan dan konflik, hal ini justru semakin melanggengkan dan mengakumulasi konflik agraria,” jelasnya.

Ketiga, RanPerpres menghilangkan 7 (tujuh) tujuan RA sebagai bagian terpenting dan fundamental dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Akibatnya, rancangan yang disusun pemerintah justru mengaburkan bahkan kembali menyesatkan tujuan RA di Indonesia. Tanpa ketegasan tujuan yang hendak dicapai, maka semakin mudah RA ditafsirkan dan diselewengkan seperti yang sudah-sudah.

Padahal, kata Dewi, revisi Perpres RA dituntut untuk memperbaiki kebijakan dan memperkuat pelaksanaan RA agar sesuai dengan 7 (tujuh) tujuan RA pada Perpres 86/2018.

“Tujuan yang sudah ideal, tidak dilengkapi dengan kelembagaan, tata cara bekerja dan terobosan hukum untuk mengakselerasi, sehingga praktiknya selalu disempitkan kembali menjadi sekedar bagi-bagi sertifikat tanah (non-konflik, non-ketimpangan, non-pemulihan hak). Ada tujuan saja masih diselewengkan, apalagi jika RanPerpres ini tidak menyatakan secara terang benderang apa tujuan sejati, ideologis dan strategis RA bagi bangsa kita,” ungkapnya.

Keempat, TORA bersumber dari Bank Tanah adalah bentuk penyimpangan Reforma Agraria oleh UU Cipta Kerja dan RanPerpres. Menyamakan proses RA sebagai bagian dari proses pengadaan tanah untuk kelompok investor/badan usaha besar adalah kesesatan yang dilakukan UU Cipta Kerja, dan sekarang hendak diadopsi oleh RanPerpres RA.

“Ini akibat lanjutan UUCK menjadi pertimbangan RanPerpres, dan bukan UUPA,” ujarnya.

Menurut Dewii, tanah untuk memenuhi keadilan sosial, di dalam RanPerpres diarahkan untuk dikelola dalam proses liberalisasi pertanahan oleh Bank Tanah. Akibatnya, TORA yang berasal dari Bank Tanah memiliki skema berbeda, yaitu melalui model Hak Pengelolaan (HPL) yang diciptakan pada UU Cipta Kerja.

“Bagaimana mungkin kelompok petani, buruh tani, nelayan, rakyat miskin tak bertanah di desa dan kota, masyarakat adat yang menuntut aspirasi keadilan dan kedaulatan agrarianya dimasukan dalam sistem pengadaan tanah Bank Tanah bersama-sama dengan para investor dan badan usaha raksasa (domestik, asing) untuk memperoleh tanah bagi bisnisnya?” tanya Dewi.

Kelima, lanjut Dewi, tidak ada perubahan kelembagaan Pelaksana RA. Makna utama revisi adalah menyadari masalah agraria itu kronis dan bersifat lintas sektor, sehingga secara kelembagaan pun pelaksanaan RA harus dipimpim oleh Presiden.

“Kepemimpinan TRAN yang lampau terbukti tidak mampu menjalankan RA sesuai tujuan-tujuannya, sehingga membuat rakyat yang sejak lama menginginkan RA dijalankan secara sistematis di Indonesia, kembali dibenturkan pada urusan-urusan ego-sektoral kementerian/lembaga, saling unjuk kesalahan, tetapi minus terobosan. RanPerpres justru kembali ke pola lama dimana kepemimpinan lembaganya hanya setingkat Menteri/Menko, lantas apa makna revisi ini?” tanya Dewi lagi.

Mengingat masalah agraria struktural yang harus dijawab RA bersifat lintas sektor, maka kepemimpinan RA tidak tidak bisa lagi disandarkan pada selevel Menteri/Menko, yang terbukti gagal selama ini, tetapi harus dipimpin langsung oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yakni Presiden.

“Pada pertemuan 2019 dan 2010 di Istana Negara, Presiden setuju untuk memimpin RA secara nasional melalui revisi Perpres RA. Kepala KSP diperintahkan Presiden untuk memastikannya. Namun instruksi Presiden menguap, tanpa kejelasan proses dan status perumusannya,” jelasnya.

Kelembagaan semacam ini juga akan menerus-neruskan dualisme pertanahan di Indonesia akibat pemisahaan kewenangan dalam mengatur territorial daratan, hingga administrasinya di Indonesia. Reforma Agraria di Indonesia melalui RanPerpres harus menghapus dualism pertanahan antara “Raja Tanah” di Kementerian ATR/BPN dan “Raja Hutan” di KLHK. Paradigma hutan secara fungsi (ekologis) dan hutan sebagai (klaim) wilayah administrasi harus direformasi.

Keenam, Reforma Agraria atas konflik agraria BUMN (PTPN/Perhutani) masih ¼ hati. Belum ada terobosan hukum yang dirancang secara sungguh-sungguh untuk menuntaskan konflik agraria akut antara masyarakat dengan perusahaan BUMN, baik PTPN maupun Perhutani/Inhutani.

Selama ini BUMN/PTPN, KSP, Kementerian ATR selalu berputar di alasan-alasan kesulitan penghapusbukuan atas aset atau aktiva tetap BUMN, alasan 30 % tutupan hutan dan sebagainya.

Kendati demikian, dalam RanPerpres diatur tentang penyelesaian konflik agraria terkait BUMN, opsi yang ditawarkan masih seputar hak atas tanah berjangka waktu (bersifat sementara) dan/atau diserahkan sesuai kesepakatan para pihak serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ini bentuk penyelesaian konflik ¼ hati, sebab dapat dipastikan prosesnya akan berulang seperti 8 tahun terakhir ini, masyarakat tidak akan berdaulat atas tanahnya,” katanya.

“Terdapat banyak pasal bersayap dan penuh syarat bagi petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok rentan lainnya untuk memiliki hak penuh atas tanahnya, pemukimannya, tanah pertanian/kebunnya, dan wilayah adatnya,”sambungnya.

Lebih jauh, Dewi menyebutkan problem soal kehilangan asset Negara dan/atau melepas asset melalui penghapusbukuan, atau alternatif lain berupa pemberian hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPKL) BUMN/PTN tidak sepenuhnya tepat, bahkan bisa melanggar konstitusional rakyat.

Sebab, tegas Dewi, haruslah diingat, RA terkait konflik agraria PTPN tidak selalu paradigmanya soal “penghapusan asset negara”, karena ada banyak konflik agraria yang model penyelesaiannya adalah usaha negara melakukan koreksi atas kesalahan sejarah perampasan tanah masyarakat, penerbitan ijin lokasi dan HGU yang memasukan kampung dan desa-desa ke dalam konsesi kebun negara.

Menurut Dewi, ini bukan semata penghapusan asset atau Negara yang kehilangan asset, melainkan RA sebagai jalan pemulihan dan pengembalian konstitusionalitas warga negara, secara sendiri-sendiri atau pun bersama/komunal.

“Tengoklah Kasus Sei Mencirim dan Simalingkar, Sumatera Utara yang berkonflik dengan PTPN III. Meski telah bertemu 3 (tiga) kali dengan Presiden, dilakukan berbagai ratas/rapat tingkat menteri tapi tidak kunjung tuntas. Proses dan model penyelesaiannya diputar-putar sesuai perspektif K/L dan Gubernur yang terlanjur ego-sektoral. Padahal letusan konflik agraria masyarakat dengan PTPN sepanjang tahun terjadi dimana-mana tanpa penyelesaian,” ungkapnya.

“Jika tidak ada political will yang berarti untuk membongkar akar konflik agraria di BUMN, jika RanPerpres gagal merancang terobosan hukum penyelesaian yang utuh dan seksama, bayangkan antrian panjang ribuan kasus agraria dan desa-desa yang mangkrak akibat regulasi RA yang buruk,” imbuhnya.

Sementara Reforma Agraria atas praktik Negaraisasi Hutan melalui monopoli Perhutani, KLHK dan bisnis kehutanan, menurut Dewi, masih jauh dari itikad baik menjalankan RA. Penggabungan revisi dengan Perpres 88 tidak merubah apa pun, kecuali ingin menerus-neruskan azas domein verklaring ala kolonial atas nama kawasan hutan.

“Kita tahu bahwa KLHK memiliki kewajiban pelaksanaan RA seluas 4,1 juta hektar, sayangnya selama 8 tahun terakhir Gerakan RA seperti menemui jalan buntu – terus menerus dipaksa dan diberi opsi perhutanan sosial. Tidaklah mengherankan kita menghasilkan capaian buruk RA terkait konflik agrarian kehutanan,” bebernya.

“Tidak ada prioritas desa-desa, pertanian dan perkebunan rakyat untuk segera dikeluarkan dari klaim Negara atas hutan. Bagaimana mungkin ladang-ladang pangan lumbung nasional dan desa-desa definitif masih terus diklaim sebagai Kawasan Hutan? Sama halnya dengan konflik agrarian PTPN, Negaraisasi hutan di masa lalu yang “terlanjur” memasukan kampung-kampung dan pertanian rakyat memerlukan terobosan hukum sebagai usaha negara untuk mengkoreksi kesalahan masa lalunya,” sambungnya.

Ketujuh, lanjut Dewi, RanPerpres melanjutkan kesalahan Perpres 86/2018, yang menjadikan kegiatan sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN.

“Jadi sertifikasi tanah bukanlah upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah), bukan pula pemulihan hak korban perampasan tanah yang dimaksudkan oleh agenda RA,” jelasnya.

Legalisasi asset yang kemudian diterjemahkan menjadi kegiatan PTSL tidak bisa serta merta disebut RA. Namun, kata Dewi,  Penguatan hak (pensertifikatan) hanya tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (reform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.

Reforma agraria yang disempitkan menjadi kegiatan pensertifikatan tanah adalah kritik terbesar Gerakan RA dan para pakar hukum agraria selama ini. Inilah porsi terbesar klaim-klaim capaian pemerintah atas nama RA.

“Sayangnya justru RanPerpres melanjutkan kesalahan lama selama 8 (delapan) tahun terakhir, dimana capaian 9 juta hektar RA dirancang dan dicampur-adukan dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa. Negara Indonesia harus belajar ke negara lain dan mengevaluasi diri untuk bisa membedakan program pensertifikatan tanah dengan Reforma Agraria,” katanya.

Pendekatan asset reform dan access reform yang ultraliberal kembali menjadi formula RanPerpres. Formula ini telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang menganut liberalisasi pasar tanah. Negara yang hanya menempatkan tanah sebagai barang komoditas/ekonomi (asset) saja.

Inilah paradigma sesat yang tidak beranjak yang tercermin dalam RanPerpres. Sejatinya tanah adalah kekuatan (modal) sosial, ekonomi, budaya, religi rakyat Indonesia, bahkan tanah serta sumber-sumber agraria lain adalah kekuatan politik atas kedaulatan bangsa yang tidak boleh dikuasasi oleh modal dan badan usaha asing sebagaimana cita-cita UUPA.

Ada pula konsekuensi kebijakan dan praktiknya di lapangan, ketika formula ini tetap dipertahankan. Jika dulu di pemerintahan SBY formulanya; “RA = asset reform plus access reform”, justru di masa Jokowi mundur selangkah lagi, menjadi “RA = asset reform dan access reform”, yang berkosekuensi pula pada praktik di lapangan, seolah tanah (sertifikat) saja cukup, sementara penataan ulang produksi dan pengembangan ekonominya pasca land reform dijalankan tidak menjadi paket utuh RA.

“Seharusnya RA adalah Landreform yang diperkuat, sebab di dalam RA ada penguatan sentra-sentra ekonomi dan produksi rakyat,” tegasnya.

Kedelapan, tidak ada subjek prioritas RA untuk memastikan pelaksanaan RA betul-betul dinikmati rakyat yang berhak (tepat sasaran), bebas dari para penumpang gelap (free riders) dan mafia tanah. Dari sisi subjek, Ranperpres RA sudah mengakomodir tuntutan untuk menghapus TNI, Polri dan PNS sebagai subjek RA,” ungkapnya.

Akan tetapi lagi-lagi tidak ada penekanan tentang pentingnya subjek prioritas agar petani kecil, buruh tani, landless (orang miskin tak bertanah), nelayan yang betul-betul mendapat dampak positif dari RA. Bahkan usulan masyarakat adat dan perempuan tetap tidak dimasukan sebagai subyek prioritas.

“Subjek RA “orang-perseorangan” pada RanPerpres RA tidak detail menyebut kriteria yang adil secara social, ekonomi dan gender, termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan itikad baik,” lanjutnya.

Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek RA, merupakan celah konflik kepentingan dan dapat dimanfaatkan para penumpang gelap (free riders) dan mafia tanah untuk dimasukkan menjadi subjek RA – kasus-kasus penumpang gelap marak terjadi di lapangan, bahkan difasilitasi sendiri oleh Pemerintah dan Pemda.

Atas dasar 8 (delapan) sikap dan pandangan di atas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional.

“Perbaikan Perpres RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional,” jelasnya.

Kemudian meminta proses perumusan RanPerpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres RA yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. Sekaligus menjamin transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.

“Mari perbaiki tata cara kita berbangsa dan bernegara, sebab rakyat dan gerakan masyarakat sipil bukan penerima manfaat dari hasil perumusan kebijakan, tetapi elemen penting bangsa yang harus terwakili secara setara dan bermakna,” tegas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

(MI/Aan)

Sumber: https://monitorindonesia.com/2022/11/kpa-mendesak-pemerintah-setop-pembahasan-ranperpres-percepatan-ra-inkonstitusional

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar