MEDAN, KOMPAS.com – Panas terik siang itu tidak menghentikan Imelda Damanik (58) bersama suami dan dua keponakannya untuk menanam jagung.
Mereka berharap besar pada jagung setelah dua tahun terakhir gagal panen padi karena serangan hama tikus yang sulit dikendalikan.
Imelda adalah salah satu petani di Desa Panei Tongah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Serangan hama tikus dan kekeringan membuat banyak petani beralih menanam jagung. Jagung lebih mudah dirawat, tahan hama wereng, dan tidak membutuhkan banyak air.
“Kami sudah tiga tahun gagal panen padi. Air sedikit, tikus banyak. Sudah gotong royong berburu tikus, banyak yang mati. Tapi tetap saja, padi kami habis. Setahun lalu, tidak ada sebutir padi yang bisa dipanen,” katanya, Senin (16/9/2024).
Dia menambahkan, kekeringan dan tikus adalah tantangan terbesar bagi petani.
Meski berbagai cara telah dilakukan, termasuk melibatkan aparat untuk berburu tikus, jumlah tikus terus bertambah.
“Kami sudah pakai belerang dan menembak tikus di lubangnya. Berhasil, tapi tikusnya tambah banyak. Kami beralih ke jagung, tapi pupuk subsidi terbatas dan yang komersil mahal,” ujarnya.
Berburu tikus massal
Petani lain di Dusun Parlanggean, Desa Pematang Pane, Kecamatan Panombeian Pane, Simalungun, Bahrum Simanjuntak, mengungkapkan hal serupa. Serangan hama tikus membuat banyak petani mengalihkan lahan padi mereka ke jagung demi bertahan hidup.
“Tahun lalu, tidak ada sebutir padi yang bisa dipanen karena tikus. Tahun ini, baru dua bulan tanam, padi sudah diserang lagi. Kami tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup kalau begini terus,” keluhnya.
Berburu tikus secara massal sudah dilakukan. Seluruh warga, dari anak-anak hingga orang dewasa, ikut terlibat.
“Dalam sehari, kami bisa menangkap 800 hingga 1.000 ekor tikus. Tapi, besoknya tikus-tikus itu kembali lebih banyak,” jelas Bahrum.
Dia menduga penggunaan racun rumput mengurangi populasi ular, predator alami tikus. Akibatnya, tikus semakin tak terkendali. Kini, sekitar 30 persen lahan padi beralih ke jagung.
“Kami trauma menanam padi lagi. Jagung sekarang jadi pilihan untuk menyambung hidup,” tambahnya.
Krisis air dan limbah
Masalah kekeringan juga terjadi di Desa Jangger Letto, Kecamatan Panei, Simalungun.
Charles Samosir mengatakan, sawah yang dulunya produktif bahkan digunakan untuk budidaya ikan kini tidak bisa dimanfaatkan lagi karena kekurangan air.
“Dulu habis panen, kami bisa masukkan ikan ke sawah. Sekarang, airnya kurang, pendapatan pun menurun,” katanya.
Dia menambahkan, air yang dulunya melimpah kini berkurang karena dialihkan untuk kebutuhan perusahaan air minum.
Selain itu, pencemaran limbah industri ke sungai yang digunakan warga memperparah kondisi.
“Limbah ini membuat air tidak layak dipakai, padahal dulu bisa dipakai untuk mandi dan mencuci. Kami sudah melapor, tapi tanggapannya kurang memuaskan,” keluh Charles.
Petani berharap pemerintah lebih memperhatikan kondisi mereka, karena petani adalah tulang punggung pangan negara.
“Harapan kami, pemerintah langsung mendengar keluhan petani, bukan hanya dari pihak lain,” ujarnya.
Adaptasi perubahan iklim
Permasalahan hama tikus dan kekurangan air di Kecamatan Panei dan Panombeian Pane adalah dampak perubahan iklim.
Yayasan Bitra Indonesia, melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI), membantu petani beradaptasi.
Berliana Siregar, Manajer Divisi Pengembangan Masyarakat dan Lingkungan Yayasan Bitra Indonesia, menjelaskan, program ini berfokus pada pengelolaan air dan pertanian organik.
Setiap minggu, petani berkumpul untuk memantau kondisi lahan dan berdiskusi mencari solusi.
“Kami menggunakan metode pertanian 100 persen organik, mulai dari pemilihan bibit hingga pembuatan pupuk organik cair,” ujarnya.
Program ini melibatkan pemerintah, akademisi, dan BMKG untuk memberikan materi tentang hama, penyakit tanaman, serta pengelolaan air yang efektif.
Pentingnya pengamatan iklim
Kepala Stasiun Klimatologi Sumatera Utara, Wahyu, menekankan pentingnya pengamatan iklim sebelum menentukan tanaman yang cocok ditanam di suatu lokasi.
“Pengamatan curah hujan adalah kunci. Data curah hujan selama minimal lima tahun harus dikumpulkan untuk mengetahui jenis tanaman yang sesuai,” katanya.
Wahyu juga menyebutkan bahwa perubahan iklim telah memengaruhi jenis tanaman di beberapa daerah. Petani harus menyesuaikan dengan kondisi alam agar tidak gagal panen.
Pengendalian hama tikus
Sementara itu, Kepala Badan Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara, Marino, menyarankan tanam serentak dan berburu tikus secara massal.
Selain itu, burung hantu sebagai predator alami tikus bisa dimanfaatkan dengan memasang rumah burung hantu di lahan sawah.
“Urin sapi atau kambing bisa diaplikasikan untuk menolak tikus, dan pengumpanan massal saat pengolahan tanah secara serentak juga efektif,” jelasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Derita Petani Simalungun Gagal Panen karena Hama Tikus dan Kekeringan”, Klik untuk baca: https://medan.kompas.com/read/2024/09/20/151206078/derita-petani-simalungun-gagal-panen-karena-hama-tikus-dan-kekeringan?page=all.
Tinggalkan Komentar