Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang diperingati setiap tanggal 24 September kembali mengingatkan publik pada lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Penetapan HTN oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963 bertujuan untuk memperkuat pelaksanaan reforma agraria yang adil dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 1945. Namun, di tengah semangat peringatan tersebut, Sumatera Utara justru dihadapkan pada darurat agraria yang semakin mencekam.
Sebagai bagian dari peringatan HTN 2024, Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara di Jalan Brigjen Katamso, Medan, pada Selasa (24/9/2024). Dalam aksi tersebut, mereka menuntut penyelesaian berbagai konflik agraria yang tak kunjung selesai di Sumatera Utara, serta mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan reforma agraria sejati sesuai amanat UUPA 1960.
Berdasarkan laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023, Sumatera Utara menempati posisi tertinggi dalam konflik agraria di Indonesia. Terdapat 33 letusan konflik yang terjadi dengan luas lahan mencapai 34.090 hektar dan 11.148 kepala keluarga yang terdampak. Konflik agraria ini tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten, mayoritas melibatkan petani dan masyarakat adat yang dirampas hak hidupnya melalui perampasan tanah atas nama penyelamatan aset negara, kawasan hutan, proyek strategis nasional (PSN), dan pengembangan kawasan wisata.
Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) menyoroti bahwa dalam tiga tahun terakhir, 259 hektar lahan di Sumatera Utara telah dirampas oleh perusahaan, mengusir 521 keluarga dari tanah mereka. Contohnya di Kabupaten Langkat, PTPN II merampas tanah di Kampoeng Duren Selemak dan Kampoeng Partumbukan. Di Deli Serdang, proyek Sport Center mengancam kehidupan 50 keluarga di Kampoeng Tumpatan Nibung, sementara proyek jalan tol Stabat-Langsa menggusur 117 hektar lahan petani yang dikelola oleh 172 keluarga di Kampung Pantai Gemi.
Proyek besar lainnya, seperti Deli Mega Politan, diperkirakan akan menggusur 2.797 kepala keluarga yang menguasai lahan seluas 1.303 hektar, mengancam terjadinya kemiskinan struktural di wilayah tersebut. Selain itu, di Serdang Bedagai, PTPN IV menggusur 121 hektar lahan yang dimiliki oleh petani Karya Mandiri Dolok Merawan. Di Pematangsiantar, petani yang telah mengelola lahan selama lebih dari dua dekade juga menghadapi penggusuran oleh PTPN III (kini PTPN IV).
Kekejaman yang dihadapi masyarakat adat juga menjadi sorotan. Seorang pejuang masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda satu miliar rupiah karena memperjuangkan tanah adatnya di Dolok Parmonangan, Simalungun. Ia dituduh menduduki dan membakar hutan konsesi milik Toba Pulp Lestari (TPL).
Selain kehilangan lahan, para pejuang agraria juga kerap mengalami intimidasi dan kriminalisasi. APARA mencatat 12 orang petani dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanahnya harus berhadapan dengan ancaman hukum. Mereka menerima panggilan aparat berwenang dan tekanan psikologis yang diduga kuat melibatkan pemerintah lokal serta pihak perusahaan yang berkepentingan.
Menyikapi situasi ini, APARA mengajukan beberapa tuntutan yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya adalah pengusutan tuntas mafia tanah dan korupsi agraria, penghentian penerbitan izin HGU/HGB di lahan konflik, serta perlindungan bagi petani, masyarakat adat, dan aktivis yang memperjuangkan hak-haknya. Mereka juga menolak proyek-proyek yang merugikan masyarakat seperti Deli Mega Politan dan Sport Center.
Dalam pernyataannya, APARA menegaskan bahwa konflik agraria bukanlah persoalan individu semata, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Oleh karena itu, pelaksanaan reforma agraria sejati harus segera diwujudkan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Tinggalkan Komentar