TC Kebun Polikultur (TCSS)

TC PPPT Mangga Dua

Info Desa

Partners

Past Supporting Partners & Experience

Majalah/Newsletter

Hasil Riset

Flag Counter

Saatnya Peduli Nasib Petani

30/10/2017 , ,

image

Oleh Arfanda Siregar

Fakta mengejutkan datang dari laporan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2017 yang menyatakan bahwa sebagian besar petani berusia antara 45-52 tahun dan hanya 3% anak petani yang mewarisi profesi petani.

Sejalan dengan hasil penelitian LIPI, catatan dari Kementerian Pertanian (Kementan) pun berujar sama bahwa dalam kurun sepuluh tahun (2003-2013) terjadi penurunan 5,1 juta Rumah Tangga Petani (RTP) atau setara 21 juta jiwa petani. Menurut Sensus Pertanian BPS tahun 2003, RTP yang semula berjumlah 31,23 juta menjadi 26,13 juta pada tahun 2013.

Penyusutan profesi petani tidak bisa dianggap sepele. Keberadaan mereka menjadi bagian penting ketahanan pangan nasional. Karut-marut produktivitas pangan nasional hingga berujung pada imperalisme pangan impor tak lepas dari derajad ketidakpedulian pemerintah atas nasib kelam petani.

Selalu Kalah

Sebuah buku berjudul “Kekalahan Manusia Petani” karangan Soetomo bertutur bahwa kisah kelam nasib petani sudah terjadi sejak zaman baholak. Menurutnya, ada tiga penyebab nasib petani selalu kalah.

Pertama, berasal dari alam. Di satu sisi alam adalah sahabat petani yang menyediakan sumber daya dan kehidupan, namun di sisi lain, alam merupakan kekuatan raksasa yang mampu memorak-porandakan kerja keras petani hanya dalam hitungan menit. Banjir, kemarau, dan agroekologis yang misteri sering membuat usaha petani gagal secara ekonomis, bangkrut.

Kedua, berasal dari hegemoni masyarakat. Perubahan corak masyarakat tradisional menjadi masyarakat moderen akibat kemajuan teknologi telah mendiskriminasikan petani. Nasib petani makin apes karena sistem yang melingkupi selama ini mendesain kehidupannya tetap jumud (stagnan). Kecanggihan teknologi bukannya meningkatkan hasil kerja mereka, malah mengerdilkan hasil jerih keringat mereka.

Berbagai barometer yang diciptakan sebagai penakar kualitas, seperti istilah 4K (kualitas, kuantitas, konformitas, dan kontinuitas) justru melabelisasi produk petani menjadi tak “memenuhi standar”. Walhasil, komoditas pertanian hasil kerja petani sering kali ditolak konsumen. Apalagi, pada era globalisasi yang bercirikan pasar bebas. Hasil produk petani lokal semakin sulit bersaing dengan komoditas impor yang masuk ke pintu pelabuhan.

Ketiga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Memang, di satu sisi kemajuan Iptek menjadi pelita dan mencerahkan pola pikir petani. Konsep pertanian, seperti revolusi hijau (green revolution) mampu mendongkrak produktivitas petani. Namun di sisi lain, petani menjadi tergantung kepada neoteknologi pertanian (input agriculture).

Adalah benar bahwa neoteknologi mampu meningkatkan produktivitas petani. Tapi, masalahnya pengeluaran petani pun menjadi berlipat ganda. Bukannya kesejahteraan yang didapat, malah kehidupan petani semakin miskin karena nilai tukar petani semakin kecil, skala usaha semakin sempit dan tidak ada diversifikasi usaha untuk meningkatkan pendapatan.

Mengentaskan Nestapa

Pemerintah tak boleh abai dengan nasib petani kalau memang serius melepaskan bangsa ini dari penjajahan pangan asing. Dulu, nestapa petani memang sulit dientaskan. Sebab, petani hidup pada zaman raja-raja dan bangsa imperialis. Sekarang, Indonesia telah merdeka, sehingga tidak ada alasan membiarkan nasib petani berada dalam kegelapan.

Di negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia dan Jepang, petani adalah warga kehormatan, meskipun populasinya di bawah 10%. Bahkan, Negara tersebut telah melangkah jauh dengan meratifikasi undang-undang yang melindungi dan memajukan kehidupan profesi petani. Di AS misalnya, Abraham Lincoln menciptakan Homestead Act 1862, yang memberikan lahan 65 hektare per kavling untuk petani.

Selanjutnya tahun 1862, AS juga melansir Morrill Act 1862 sebagai landasan berdirinya Land Grant College sebagai wadah pemikir pertanian di Negara itu. Sekarang sudah ratusan peraturan perundangan yang mengatur kehidupan petani di negara Paman Sam ini.

Kita memang bisa dikatakan terlambat melindungi petani dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang disahkan tahun lalu belum sepenuhnya dilaksanakan. Karenanya, untuk jangka pendek, pemerintah perlu melakukan langkah darurat agar kuantitas petani tidak terus menyusut sepanjang tahun.

Pertama, penambahan secara signifikan anggaran negara yang dialokasikan untuk dunia pertanian, khususnya pemberdayaan petani. Sejak dulu hingga sekarang, alokasi anggaran untuk pertanian selalu di bawah 7% dari anggaran pembangunan.

Padahal kontribusi pertanian terhadap anggaran negara jauh lebih besar ketimbang pendapatan BUMN (0,6% dari produk domestic bruto/PDB) yang selalu menjadi anak emas. Bandingkan dengan pendapatan dari sektor hulu, hilir dan pengolahan pertanian, pendapatan negara jauh lebih besar dibanding pendapatan BUMN.

Pendapatan PT Nestle saja pada tahun 2007 menurut majalah Fortune 500 mencapai US$ 57,2 miliar, padahal Nestle hanya perusahan pengolahan produk pertanian yang tidak punya kebun dan tanah jutaan hektare.

Kedua, membenahi kelembagaan ekonomi sektor pertanian yang selama ini menempatkan petani sebagai pecundang. Secara praktis kelembagaan ekonomi berbicara mengenai regulasi yang memungkinkan setiap pelaku ekonomi dapat menjalankan proses transaksi secara sepadan dan kepastian (institutional arrangement).

Agenda lain pada tahap ini adalah memutus peran rents seekers yang kerap mencuri pendapatan petani. Para pemain, seperti tengkulak dan ijon harus ditebas sehingga keuntungan dari hasil keringat petani sempurna diterima.

Ketiga, perlunya dibangun bank yang khusus melayani petani. Bank ini berfungsi untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada 11% petani dari 200 juta lebih penduduk Indonesia. Pembangunan bank tersebut dapat merujuk kepada BAA C (Bank for Agriculture and Aquaculture) Thailand, Bank Pertanian Thailand atau Land and Agricultural Development Bank milik Afrika Selatan.

Keempat, pemerintah seharusnya sudah melakukan landreform untuk petani. Bagaimanapun, alat berproduksi petani adalah tanah. Reformasi agraria dengan cara membebaskan lahan per tanian untuk petani masih bisa dilakukan mengingat lahan tidur yang tak tergarap di negeri ini mencapai 7,5 juta hektare.

Bung Karno pernah berpesan, “pertanian itu seperti soal todongan pistol, mau ‘hidup atau mati’, satu tekanan tugas, ‘to be or not to be’,” katanya sambil menodongkan tangannya di depan hadirin ketika beliau meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Fakultet Pertanian Bogor, 27 April 1952. Jika mau hidup, maka peduli dengan petani. Semoga.

Arfanda Siregar, Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan/PenggiatPermukiman Berkelanjutan.

Sumber: http://id.beritasatu.com/opini/saatnya-peduli-nasib-petani/167137#.WfUJjtoka08.facebook

Foto: www.pertanianku.com

Search

Arsip

Desa Penerap SID di Sumut

https://www.youtube.com/watch?v=Yg5mzpjmOrI

Data Kelompok

Kab/Kota Lk Pr Jlh Jlh Kel
Langkat 173 142 315 12
Binjai 26 31 57 3
Deli Serdang 783 766 1549 31
Serdang Bedagai 815 620 1435 49
Tebing Tinggi 36 126 162 5
Batu Bara 26 170 196 5
Lab Batu Uatara 490 306 796 2
Jumlah 2349 2161 4510 107