Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 162 lembaga dan perorangan menolak kehadiran program cetak sawah atau ”food estate” yang akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 162 lembaga dan perorangan menolak kehadiran program cetak sawah atau food estate yang akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Cetak sawah dianggap bukan menjadi jawaban atas ketersediaan pangan di era pandemi.
Koalisi Masyarakat Sipil merupakan gabungan dari 162 lembaga, seperti Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace Indonesia, Auriga, JPIC Kalimantan, Pantau Gambut, Yayasan Pusaka, para akademisi, lembaga mahasiswa dari Universitas Indonesia, Universitas Palangka Raya, dan lembaga lainnya. Mereka mengadakan konferensi pers daring pada Minggu (14/6/2020) untuk menyatakan sikap.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menjelaskan, program food estate dibuat dengan dalih ketahanan pangan selama pandemi Covid-19 tahun ini. Namun, menurut Iola, hasil produksi dari program tersebut baru bisa dinikmati tiga tahun ke depan.
”Sawah baru tidak akan mungkin mengejar hasil produksi untuk kebutuhan nasional dalam waktu dekat ini,” kata Iola.
Iola menjelaskan, surplus beras tahun 2020 hanya 2,8 juta ton yang ia nilai hanya mampu memenuhi kebutuhan untuk satu bulan pertama di tahun 2021. Hal itu dilihat dari kebutuhan beras nasional per bulan sekitar 2,5 juta ton. Stok beras baru dianggap aman di kisaran 7 juta-8 juta ton beras hingga panen raya, Maret 2021.
”Untuk infrastruktur pertanian di lahan yang disiapkan itu, kan, butuh proses yang lama, jadi hasilnya bukan untuk masa pandemi tahun ini,” katanya.
Direktur Walhi Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengungkapkan, penolakan tersebut juga didasari oleh luka lama Proyek Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 di mana program serupa pernah dibuat dan gagal. Lahan seluas 1,4 juta hektar dibuka dan menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan.
”Ada tiga kubah gambut yang saling berhubungan ada di lokasi dan direncanakan dibuka. Ini hanya akan mengulang malapetaka masa lalu,” kata Dimas. Ada tiga kubah gambut yang saling berhubungan ada di lokasi dan direncanakan dibuka. Ini hanya akan mengulang malapetaka masa lalu.
Pengampanye Greenpeace, Ryo Rompas, mengungkapkan, lahan gambut memiliki karakter unik dan menyimpan karbon yang tinggi. Jika dibuka, akan terjadi pelepasan karbon yang sangat tinggi dan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca.
”Jadi, wilayah yang akan menjadi cetak sawah itu menyumbang 39 persen kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun dari total kebakaran di Kalteng,” kata Rompas.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menilai, program food estate bukan hanya soal pemenuhan ketahanan pangan selama pandemi, tetapi juga soal Kalteng menjadi lumbung pangan. Selain itu, program tersebut juga akan menjadi salah satu sumber lapangan pekerjaan untuk masyarakat Kalteng.
”Kami tentu, dengan segala upaya, akan mencegah kebakaran hutan dan lahan dan dampak buruk lainnya,” kata Sugianto.
Kami tentu, dengan segala upaya, akan mencegah kebakaran hutan dan lahan dan dampak buruk lainnya. Sugianto menjelaskan, di Kalteng, lahan yang sudah disiapkan untuk program tersebut mencapai 164.598 hektar atau lebih dari dua kali luas DKI Jakarta itu. Rinciannya, 85.456 hektar merupakan lahan intensifikasi atau lahan yang sudah digunakan dan 79.142 hektar merupakan lahan perluasan baru yang saat ini masih berupa rawa ataupun hutan sekunder.
”Program ini menggunakan teknologi pertanian modern yang tentunya lebih ramah dan bijak dengan alam, ini bahkan bisa jadi model untuk wilayah lain di Indonesia,” kata Sugianto.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan Provinsi Kalteng Suniarti mengungkapkan, pihaknya sudah beberapa kali membuat demplot persawahan di atas lahan gambut dan berhasil.
Di Kabupaten Kapuas, tepatnya di Desa Humbang Raya, Kecamatan Mantangai, pihaknya juga sudah melakukan panen, bahkan di lahan gambut yang berpasir. Terdapat dua varietas unggul yang digunakan, yakni padi inpari 42 dengan hasil 7,68 ton gabah kering per hektar dan varietas inpari 30 yang menghasilkan 8,48 ton gabah kering.
”Dengan pengelolaan yang benar, tanah gambut memiliki potensi yang besar. Dengan varietas yang tepat, juga akan mendapatkan hasil yang sesuai,” kata Suniarti.
Sumber: https://kompas.id/baca/nusantara/2020/06/14/koalisi-masyarakat-sipil-tolak-program-food-estate-di-kalteng/