Belajar dari korban massal kebakaran pabrik mancis, Langkat
Peristiwa kebakaran pabrik mancis yang terjadi pada sekira pukul 12.00 WIB siang, tanggal 21 Juni 2019, di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kemarin, sungguh menyentak dan mengejutkan kita semua. Bagaimana tidak? Dari peristiwa ini, kita disadarkan bahwa ada kenyataan kondisi kerja dalam lingkungan yang begitu buruk dan keamanan kerja yang teramat sangat rentan.
Kebakaran yang menewaskan 30 orang perempuan, terdiri dari 26 orang dewasa sebagai pekerja pabrik mancis dan 4 orang anak-anak ini menunjukkan bahwa aturan dan undang-undang tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang diamanatkan oleh UU nomor 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja sama sekali diabaikan oleh perusahaan, pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan yang sangat lemah, juga jaminan sosial dan kesempatan BPJS, yang hanya diberikan pada 1 orang (mandor/pengawas kerja) dari 30 orang korban. Para pekerja dipekerjakan dalam ruang tertutup atau terisolasi dalam lingkungan kerja yang beresiko tinggi karena menggunakan bahan-bahan berbahaya dan beracun, berupa gas dan dipekerjakan secara ilegal. Hal ini lebih dekat pada istilah “perbudakan modern”!
Dari hasil tim kecil pencari fakta BITRA Indonesia bersama Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera, ditemukan fakta-fakta mencengangkan seperti, sistem upah kerja dengan sistem borongan dengan bayaran 1 pack yang berisi 50 pcs (pieces) mancis pekerja hanya dibayar Rp 1.200,-. Dengan 8 jam kerja dalam sehari, pekerja yang paling cepat atau paling piawai, dapat menyelesaikan 30 pack perhari. Ini artinya para pekerja yang paling gesit akan bergaji Rp 36.000,- dengan waktu kerja 8 jam dalam sehari. Jika dalam 1 bulan kerja, tidak ada absen, maka akan diberikan insentif (uang kerajinan) Rp 80.000,- dari perusahaan.
Kesaksian dari Pitriani (30 tahun) mantan karyawan pabrik mancis yang juga merupakan kakak kandung dari 2 orang almarhumah korban kakak beradik, Rani dan Alfiah dalam tragedi kebakaran pabrik mancis, “memang sering terjadi ledakan kecil. Pernah ada teman saya, sesama pekerja, yang jadi korban ledakan tersebut, hingga tangan dan rambutnya terbakar! Untuk biaya pengobatannya ditanggung sendiri oleh teman saya tersebut”. Kata Pitri.
Kondisi eksploitatif di atas sama persis dengan yang dialami oleh 1.850 orang anggota SPR Sejahtera yang didampingi BITRA Indonesia dari 4 wilayah (Deli Serdang, daerah pinggiran Medan, Bijai dan Langkat), dimana upah teramat sangat murah, peralatan kerja yang pengadaannya mandiri oleh para perempuan pekerja rumahan, jaminan sosial, jaminan keamanan dan keselamatan kerja yang tidak ada.
Agar tidak terjadi berulang peristiwa yang sama yang akan menimbulkan korban lebih banyak lagi, kami BITRA Indonesia bersama dengan SPR Sejahtera menyerukan: