
Kasus ini ditemukan berdasarkan penelitian JAMSU di Sumatera Utara. Wakil Direktur BITRA Indonesia Iswan Kaputra menyebut para oknum pemeras seperti ini sebagai “predator desa”.
“Temuan di Sumatera Utara, ditemukan adanya predator desa, mereka menyebut diri mereka LSM Wartawan atau Wartawan LSM. Mereka sering datang menakut-nakuti kepala desa, lebih intens saat pencairan dana desa,” ujar Iswan dalam konferensi pers di kantor Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (5/12/2019).
Setiap mendatangi desa yang sedang melakukan pembangunan, para predator desa ini pura-pura menanyakan atau bahkan mempersoalkan sesuatu tentang pembangunan tersebut, meskipun terkadang tidak ada sesuatu yang salah, lalu mereka meminta uang kisaran Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
“Bahkan saat kami melakukan riset lapangan, kami menemukan langsung, para predator desa ini datang ke desa, ketika desa melakukan berbagai kegiatan pembangunan. Lalu Kepala desanya ditarik tiba-tiba oleh orang yang mengaku wartawan LSM ini. Dikasih Rp 50 ribu sudah selesai, pulang dia,” tutur Iswan.
Menurut Iswan, akibat dari perbuatan dari para predator desa ini membuat para Kades jadi berpotensi untuk menggelapkan Dana Desa. “Karena, uang yang digunakan untuk diberi kepada para predator desa tidak mungkin berasal dari kantong pribadi Kades. Kemungkinan besar diambil dari anggaran, pendapatan dan belanja (APB) Desa yang salah satunya berasal dari Dana Desa.” Ungkapnya. “Desa sendiri tidak pernah memiliki pos anggaran khusus dari dalam APB Desa untuk membayar para predator desa ini.”
“Cukup banyak Dana Desa yang hilang karena praktik pemerasan oleh predator desa tadi. Praktik ini, selain berpotensi memicu korupsi baru di desa, juga berakibat buruk pada pelayanan desa kepada warganya. Karena Kades menghindarkan para predator desa, maka Kades jarang ada di kantor desa dan bahkan di rumahnya. Akhirnya Kades melakukan pelayanan pada masyarakatnya pada hampir tengah malam di rumahnya atau di kedai-kedai kopi.” Pungkas Iswan.